(Bahasa Indonesia) Hukum Air di Toilet Umum

Sorry, this entry is only available in Bahasa Indonesia. For the sake of viewer convenience, the content is shown below in the alternative language. You may click the link to switch the active language.

PERTANYAAN :
Ketika kita menggunakan kamar mandi/toilet umum, kadang tempat penyimpanan air hanya menggunakan ember kecil yang bisa jadi kalau ada orang kencing berdiri akan terciprat ke air tersebut atau ada orang yang mencuci tangannya yang najis dengan memasukkannya ke dalam ember. Bolehkah bersuci (istinja` atau wudlu) menggunakan air tersebut?

JAWABAN :
Dalam hal ini terdapat tarik ulur antara menggunakan hukum asal (hukum asal air adalah suci) serta dzahirnya (secara dzahir kemungkinan terkena najis itu ada), sebagaimana dalam permasalahan menggunakan tempat makan orang kafir (non-muslim), pakaian tukang jagal, anak-anak yang tidak berhati-hati dari najis. Apakah dihukumi sesuai dzahirnya (kemungkinan najis) atau hukum asalnya (suci)?

Dalam beberapa permasalahan terkadang hukum dzahir yang lebih kuat sehingga dzahirnya yang dianggap, terkadang hukum asal yang didahulukan, dan terkadang hukum asal dan dzahir sama-sama kuat, oleh karena itu dalam permasalahan-permasalahan seperti ini sering berbeda-beda hukumnya dalam sebagian madzhab.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal; sesuatu yang kita yakini suci atau najisnya namun kita ragu akan perubahan sifatnya. Untuk masalah yang ditanyakan, kita yakin tentang sucinya air, tapi ragu apakah air tersebut berubah sifat menjadi najis atau tidak. Ada 2 pendapat dalam masalah seperti ini:

  1. Kita berpegang pada hukum asal yang kita yakini, serta tidak menghiraukan keraguan yang ada. Ini adalah madzhab Hanafi1), Syafi’i dan Hanbali
  2. Hukum keraguan dalam kesucian air berbeda dengan keraguan dalam najisnya pakaian, atau dalam hadats atau shalat atau lainnya. Ini adalah madzhab Maliki. Namun, dalam hal ragu akan najisnya air, madzhab Maliki seperti pendapat jumhur, yaitu berpegang pada hukum asalnya, yaitu sucinya air.

Asy Syirazi menyebutkan dalam kitabnya (Al Muhadzab) : “Apabila yakin akan sucinya air tapi ragu atas kenajisannya, maka dia boleh berwudlu dengannya karena yang diyakini adalah suci, apabila yakin bahwa air itu najis, tapi ragu apakah sudah menjadi suci atau belum maka tidak boleh berwudlu dengannya, dan apabila tidak yakin suci maupun najisnya air maka dia boleh berwudlu dengannya karena hukum asal air adalah suci.” 2)

Ibnu Rajab menjelaskan : “Apabila yakin akan suci atau najisnya air, pakaian, tanah atau badan, tapi ragu akan berubah sifatnya, maka dia berpegang pada hukum asal sampai yakin bahwa sifatnya berubah.” 3)

Al Baji berkata : “Apabila seorang yang ingin bersuci mendapati air yang berubah sifatnya, tapi dia tidak tahu apakah berubah sifat karena najis atau tidak? Maka dia lihat dzahir penyebabnya (najis atau tidak). Tapi kalau tidak ada dzahirnya, sementara dia juga tidak tahu penyebabnya, maka dia hukumi air itu suci, hukum ini juga diriwayatkan oleh Ibnul Qasim dalam Al Majmu’ah.” 4)

Dalil
Dasar hukum permasalahan ini adalah Qoidah Fiqhiyyah (اليقين لا يزول بالشك) “Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.” Dan ini merupakan kaidah yang bisa diaplikasikan dalam berbagai hal dalam permasalahan fiqh. Dalil dari kaidah ini antara lain adalah hadits Abdullah bin Zaid Al Manini radliyallahu anhu bahwa ada seorang yang mengeluh kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena dia merasa ketika shalat ada sesuatu (yang keluar dari duburnya). Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan :
لا ينصرف حتى يسمع صوتًا، أو يجد ريحًا
“Jangan pergi (membatalkan shalat) sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya. 5)

Kesimpulan
Keempat madzhab sepakat bahwa air tersebut suci karena hukum asalnya, maka dia boleh menggunakannya untuk bersuci, selama dia tidak melihat atau mengetahui bahwa memang ada najis yang masuk ke dalam air tersebut. Adapun keraguan tentang kemungkinan air tersebut telah berubah menjadi najis tidak mempengaruhinya dan tidak merubah hukumnya.

Referensi:
1) Al Mabsuth (1/169)
2) Al Muhadzab (1/23)
3) Al Qawa’id hal 339-340
4) Al Muntaqa (1/59)
5) HR Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361

=========================
KAFIA (Kajian Fiqh Aplikatif)
Dibawah asuhan:
Pusat Kajian Al Quran
Pondok Modern Darul Falach Temanggung
PKQ.DarulFalach.com

=========================

Bergabung Sekarang!

Grup Khusus Putra:

Grup Khusus Putri:

=========================

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *