Apakah Ini Transaksi Riba?

PERTANYAAN :
Nama saya Anton dari Batang. Saya mau bertanya : Apabila si A membeli barang dan si B berniat meminjam uang, A membeli barang dengan harga 10.000 dan dikasihkan ke B, setelah itu B menjualnya kembali dengan harga tertentu ke C, dan si B menyerahkan uang ke A 11.000 (dibayar di belakang, waktu ditentukan tapi ada toleransi). Apakah riba?

JAWABAN :
Tujuan dari transaksi ini, yang terlihat dari pertanyaan tersebut adalah mendapatkan uang tunai dan sekaligus mempunyai tanggungan hutang dengan jumlah yang lebih besar dari uang tunai yang didapatkannya. Umumnya orang akan langsung meminjam uang tunai dari orang lain dengan tanggungan pengembalian yang lebih besar, dan ini adalah bentuk riba. Namun, transaksi di atas tidak seperti yang dilakukan umumnya orang ketika membutuhkan uang tunai, meskipun tujuannya sama. Apakah hukumnya sama?

Para ulama menyebut istilah hilah untuk perbuatan yang kelihatannya boleh untuk tujuan yang sebenarnya tidak dibolehkan. 1)
Dan banyak ulama yang menulis buku khusus tentang hilah serta hukumnya, karena banyaknya bermunculan hilah terutama mulai dari masa tabi’in akhir. Adapun di zaman sahabat tidak ada bentuk-bentuk hilah tersebut, karena mereka membenci serta menjauhi perbuatan yang menjurus kepada sesuatu yang haram meskipun kelihatannya boleh. 2)

Secara ringkas, Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah menyebutkan bahwa hilah apabila tujuannya haram maka hukumnya haram, sebaliknya apabila tujuannya mubah maka hukumnya juga mubah. 3)

Apakah bentuk transaksi yang disebutkan di atas termasuk hilah yang diharamkan?
Dalam fiqh ada sebuah transaksi yang disebut dengan “jual beli ‘inah”, apa itu? Yaitu transaksi yang dilakukan dengan cara : A membeli barang dari B dengan cara dihutang, kemudian A menjualnya kembali kepada B secara tunai dengan harga yang lebih rendah. 4)

HUKUM JUAL BELI ‘INAH
Apa hukum jual beli seperti ini?
Ada 2 pendapat ulama dalam masalah ini:

  1. Haram. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali
  2. Boleh. Ini adalah pendapat Abu Yusuf, ulama madzhab Hanafi serta madzhab Syafi’

Dalil
1. Pendapat tentang haramnya ‘inah

a. Hadits riwayat Ibnu Umar radliyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
( إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ ، وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ )
“Apabila kalian berjual beli dengan ‘inah, menikuti ekor sapi, puas dengan bercocok tanam serta meninggalkan jihad, maka Allah akan memberikan kehinaan kepada kalian yang tidak akan dihilangkan sampai kalian kembali kepada agama kalian.” 5)
b. Atsar dari Aisyah radliyallahu anha :
((دخلت امرأتي على عائشة وأم ولد لزيد بن أرقم فقالت لها أم ولد زيد إني بعت من زيد عبدا بثمانمائة نسيئة واشتريته منه بستمائة نقدا فقالت عائشة رضي الله عنها أبلغي زيدا أنه قد أبطلت جهادك مع رسول الله صلى الله عليه و سلم إلا أن تتوب بئسما اشريت وبئس ما شتريت ))
“Isteriku menemui Aisyah bersama ummu walad Zaid bin Arqam dan berkata : “Aku membeli seorang budak dari Zaid seharga 800 dengan dihutang, kemudian aku membelinya lagi darinya seharga 600 tunai.” Maka Aisyah radliyallahu anha berkata : “Sampaikan kepada Zaid bahwa engkau telah menggugurkan (pahala) jihadmu bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kecuali apabila engkau bertaubat. Alangkah buruknya pembelianmu dan alangkah buruknya penjualanmu.” 6)
c. Transaksi ini tujuannya adalah riba, maka hukumnya sama dengan tujuannya.

2. Pendapat tentang bolehnya ‘inah

a. Firman Allah ta’ala :
(( وأحل الله البيع وحرم الربا ))
“padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah 275)
b. Transaksi ini adalah transaksi jual beli, sama saja dia jual kepada orang lain maupun kepada penjual kembali hukum jual beli boleh.

Pembahasan Dalil

  1. Hadits Ibnu Umar dalam sanadnya terdapat Atha’ Al Khurasani dan Ishaq bin Usaid yang tidak bisa diterima haditsnya. Namun bantahan ini bisa disanggah karena hadits tersebut juga mempunyai syawahid yang menguatkan derajatnya.
  2. Hadits Aisyah terdapat rawi yang majhul yaitu Aliyah binti Ayfa’. Namun disanggah bahwa hadits ini adalah hadits hasan karena yang meriwayatkan dari Aliyah ada 2 orang tsiqoh yaitu Abu Ishaq (suaminya) dan Yunus (anaknya)
  3. Dalil umum tentang kehalalan jual beli ditakhshis oleh dalil tentang haramnya jual beli ‘inah
  4. Meskipun bentuk transaksinya boleh, tapi niat mempengaruhi dalam menentukan hukumnya.

Dapat disimpulkan dari pembahasan tersebut bahwa yang lebih rajih adalah jual beli ‘inah hukumnya haram.

Namun ada yang berbeda antara jual beli ‘inah dengan bentuk transaksi yang ditanyakan, karena dalam bentuk tersebut pihak yang bertransaksi tidak hanya 2 orang tetapi ada 3, sehingga hukumnya tidak seperti yang dijelaskan di atas.
Transaksi yang dilakukan oleh 3 orang diistilahkan dalam fiqh madzhab hanbali dengan nama “jual beli tawarruq”, sedang dalam madzhab lain tidak menggunakan istilah khusus. Maksud dari jual beli tawarruq adalah : membeli suatu barang dengan dihutang, kemudian menjualnya kembali secara tunai kepada pihak lain dengan harga yang lebih rendah, dengan tujuan mendapatkan uang tunai. 7)

HUKUM JUAL BELI TAWARRUQ
Ada 2 pendapat ulama dalam masalah ini:

  1. Boleh. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Hanbali
  2. Haram. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim

Dalil
1. Pendapat yang membolehkan tawarruq.

a. Firman Allah ta’ala :
(( وأحل الله البيع وحرم الربا ))
“padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah 275)
Hukum asal jual beli adalah boleh karena lafadz “bai'” bersifat umum dan karena tidak ada yang dalil yang melarang maka hukumnya tetap boleh.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat amil untuk kawasan Khaibar, kemudian dia datang membawa kurma yang bagus, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bertanya : “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?” Dia menjawab : “Tidak wahai Rasulullah, kami membeli satu atau dua sha’ dari kurma ini dengan tiga sha’ (kurma yang lain).” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “Jangan kau lakukan seperti itu, juallah kurmamu dengan dirham, kemudian belilah dengan dirham tersebut kurma yang bagus!”
Hadits ini menunjukkan bahwa hukum asal dari transaksi adalah wujudnya secara syar’i, adapun kemungkinan yang ada dalam niat orang yang bertransaksi tidak mempengaruhi hukumnya. Transaksi tersebut walaupun tujuannya sama, yaitu mendapatkan kurma yang bagus, tapi prosesnya berbeda, maka hukumnya pun berbeda.

2. Pendapat yang mengharamkan tawarruq.

a. Tawarruq merupakan jalan menuju riba, maka hukumnya haram seperti ‘inah.
b. Jual beli tersebut adalah jual beli terpaksa, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli terpaksa. 8)

Pembahasan Dalil

  1. Tawarruq tidak bisa disamakan dengan ‘inah karena perbedaan yang nyata dalam pihak bertransaksi.
  2. Hadits tentang larangan jual beli terpaksa adalah hadits yang dhaif seperti yang disebutkan oleh Al Mundziri karena dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal. 9)
  3. Kalaupun seandainya kita menggunakan hadits tersebut maka yang dimaksud dengan jual beli terpaksa adalah karena ada paksaan dari orang lain, atau terpaksa karena terlilit hutang atau beban hidup yang berat.

Kesimpulan
Transaksi yang disebutkan dalam pertanyaan di atas merupakan tawarruq yang dibolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, dan itu adalah transaksi jual beli murni. Buktinya si B bisa saja menjual kepada C dengan harga yang sama dengan yang dia dapatkan dari A ataupun lebih tinggi.
Dengan catatan tidak boleh ada kesepakatan agar C menjualnya kembali kepada A, karena bentuk seperti ini adalah hilah (tipuan untuk lari dari bentuk) riba, disebut oleh Ibnu Taimiyah sebagai hilah tsulatsiyah

Referensi :
1) Al Muwafaqaat : (1/187)
2) Bayan Ad Daliil hal 121
3) I’lam al Muwaqqi’in : (5/188)
4) Al Mausu’ah al Fiqhiyyah : (9/96)
5) HR Abu Dawud (3462)
6) HR Daraquthni (5/330)
7) Al Mausu’ah al Fiqhiyyah : (14/147)
8) HR Abu Dawud dalam Bab Bai’ al Mudlthor
9) Aunul Ma’bud hal 1452

=========================
KAFIA (Kajian Fiqh Aplikatif)
Dibawah asuhan:
Pusat Kajian Al Quran
Pondok Modern Darul Falach Temanggung
PKQ.DarulFalach.com

=========================

Bergabung Sekarang!

Grup Khusus Putra:

Grup Khusus Putri:

=========================

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *