Islam adalah Agama Perasaan

Wahsyi -setelah masuk Islam- suatu hari mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau pun bertanya : “Engkaukah yang bernama Wahsyi?” Dia menjawab : Ya. Beliau pun bertanya lagi : “Engkaukah yang membunuh Hamzah (paman Rasulullah)?” Dia menjawab : Seperti yang engkau dengar wahai Rasulullah. Maka beliau bersabda : “Bisakah engkau tidak menampakkan wajahmu lagi dihadapanku?”

“Bisakah engkau tidak menampakkan wajahmu lagi dihadapanku!?”

Wahsyi menjalankan perintah tersebut! Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun tidak pernah lagi melihatnya sampai beliau meninggal.

Perasaan manusiawi yang wajar, tapi diiringi dengan keadilan nabawi yang penuh hikmah.

Perasaan yang tidak dapat disembunyikan. Amarah yang bersemayam dalam hati : “Engkaukah pembunuh Hamzah?”

Perasaan marah yang diwujudkan tanpa kedzaliman. Wahsyi hanya diperintahkan : “Bisakah engkau tidak menampakkan wajahmu lagi dihadapanku?”

….

Dalam peristiwa yang berbeda, Umar bin Khattab didatangi oleh pembunuh saudaranya -Zaid bin Khattab-, setelah sang pembunuh masuk Islam. Maka sang khalifah berkata : “Demi Allah aku tidak menyukaimu, sampai bumi bisa menyukai darah!”

Dia kemudian bertanya : Apakah hal ini berarti aku tidak akan mendapatkan hak yang seharusnya aku terima, atau aku mendapatkan keburukan yang bukan tanggunganku?

Umar menegaskan : “Tidak.”

Dia pun menjawab : “Kalau begitu aku tidak peduli, hanya wanita yang menangis karena cinta.”

….

Ungkapan rasa benci yang manusiawi; “Engkau pembunuh saudaraku. Demi Allah aku tidak menyukaimu!”

Tapi Islam adalah kebenaran, yang tidak boleh terpengaruh oleh perasaan suka atau benci.

….

Inilah sikap moderat yang dibawa oleh Islam, yang memisahkan antara gemuruh emosi yang bergejolak di dada manusia dengan keadilan dan kebenaran yang sering tidak terlihat oleh mata.

….

Ketika Zainab putri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meninggal beliau berkata kepada jenazahnya : “Susullah salafusshalih kita; Utsman bin Math’un.” Maka para wanita pun menangis, sehingga Umar bin Khattab mengayunkan cambuknya. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memegang tangannya dan berkata : “Tahan wahai Umar!” kemudian beliau berkata kepada para wanita : “Menangislah! Tapi hindari teriakan syaitan.”

….

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menangis, sampai mengalir air mata di pipi beliau karena meninggalnya putera beliau yang lain; Ibrahim. Sehingga ketika seorang sahabat heran, beliau menegaskan : “Sesungguhnya air mata ini menetes, serta hati ini bersedih, tapi kita tidak akan mengucapkan yang tidak diridlai Rabb…”

….

Maka, inilah Islam, agama yang tidak mengesampingkan perasaan, agama yang memanusiakan pemeluknya, agama yang menganggap wajar ketika perasaan menyelimuti hatinya…

Tapi,

Islam tidak membiarkan perasaan berkuasa atas naluri. Ketika perasaan cinta, benci, sedih adalah kayu bakar yang membara di dada pemiliknya, maka yang muncul hanyalah api yang menyala dan abu yang menyelimuti mata, sehingga seorang tidak akan melihat kecuali kebaikan orang yang dikasihinya, atau keburukan orang yang dibenci, serta tidak akan dapat melihat kebahagiaan dengan hati yang diliputi kesedihan.

….

Tidak ada salahnya menampakkan perasaan; cinta, benci, sedih, bahagia, selama tidak ada larangan yang dilanggar serta tidak ada perintah yang ditinggalkan.

=========================
KAFIA (Kajian Fiqh Aplikatif)
Dibawah asuhan:
Pusat Kajian Al Quran
Pondok Modern Darul Falach Temanggung
PKQ.DarulFalach.com

=========================

Bergabung Sekarang!

Grup Khusus Putra:

Grup Khusus Putri:

=========================

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *